PENGERTIAN
PENDEKATAN KOTEKSTUAL (CTL)
Pendekatan kontekstual (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh
komponen utama pembelajaran afektif, yaitu konstruktivisme, bertanya,
menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian yang
sebenarnya (Nurhadi, 2002:5).
Johnson (dalam Nurhadi, 2002:12) merumuskan pengertian CTL sebagai suatu
proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan
pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks
kehidupan sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya,
dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem CTL, akan menuntun siswa
ke semua komponen utama CTL, yaitu melakukan hubungan yang bermakna,
mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri, bekerja
sama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara atau merawat pribadi siswa,
mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian sebenarnya.
Pendekatan CTL menurut Suyanto (2003:2) merupakan suatu pendekatan yang
memungkinkan siswa untuk menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan
keterampilan yang mereka peroleh dalam berbagai macam mata pelajaran baik di
sekolah maupun di luar sekolah.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
kontekstual adalah konsep belajar pada saat guru menghadirkan dunia nyata ke
dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, sementara
siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas,
sedikit demi sedikit, dan dari proses mengonstruksi sendiri, sebagai bekal
untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sehari-hari.
Dengan menerapkan CTL tanpa disadari pendidik telah
mengikuti tiga prinsip ilmiah modern yang menunjang dan mengatur segala sesuatu
di alam semesta, yaitu: 1) Prinsip Kesaling-bergantungan, 2) Prinsip
Diferensiasi, dan 3) Prinsip Pengaturan Diri.
Prinsip kesaling-bergantungan
mengajarkan bahwa segala sesuatu di alam semesta saling bergantung dan saling
berhubungan. Dalam CTL prinsip kesaling-bergantungan mengajak para pendidik
untuk mengenali keterkaitan mereka dengan pendidik lainnya, dengan siswa-siswa,
dengan masyarakat dan dengan lingkungan. Prinsip kesaling-bergantungan mengajak
siswa untuk saling bekerjasama, saling mengutarakan pendapat, saling
mendengarkan untuk menemukan persoalan, merancang rencana, dan mencari
pemecahan masalah. Prinsipnya adalah menyatukan pengalaman-pengalaman dari
masing-masing individu untuk mencapai standar akademik yang tinggi.
Prinsip diferensiasi
merujuk pada dorongan terus menerus dari alam semesta untuk menghasilkan
keragaman, perbedaan dan keunikan. Dalam CTL prinsip diferensiasi membebaskan
para siswa untuk menjelajahi bakat pribadi, memunculkan cara belajar
masing-masing individu, berkembang dengan langkah mereka sendiri. Disini para
siswa diajak untuk selalu kreatif, berpikir kritis guna menghasilkan sesuatu
yang bermanfaat.
Prinsip pengaturan diri
menyatakan bahwa segala sesuatu diatur, dipertahankan dan disadari oleh diri sendiri.
Prinsip ini mengajak para siswa untuk mengeluarkan seluruh potensinya. Mereka
menerima tanggung jawab atas keputusan dan perilaku sendiri, menilai
alternatif, membuat pilihan, mengembangkan rencana, menganalisis informasi,
menciptakan solusi dan dengan kritis menilai bukti. Selanjutnya dengan
interaksi antar siswa akan diperoleh pengertian baru, pandangan baru sekaligus
menemukan minat pribadi, kekuatan imajinasi, kemampuan mereka dalam bertahan
dan keterbatasan kemampuan.
Pengajaran yang didasarkan pada strategi pembelajaran
kontekstual harus disusun untuk mendorong lima bentuk pembelajaran penting:
Mengaitkan, Mengalami, Menerapkan, Kerjasama, dan Mentransfer.
Mengaitkan: Belajar dalam konteks
pengalaman hidup, atau mengaitkan. Guru menggunakan strategi ini ketia ia
mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan
demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru. Kurikulum yang berupaya
untuk menempatkan pembelajaran dalam konteks pengalaman hidup harus bisa
membuat siswa memperhatian kejadian sehari-hari yang mereka lihat, peristiwa
yang terjadi di sekitar, atau kondisi-kondisi tertentu, lalu mengubungan
informasi yang telah mereka peroleh dengan pelajaran kemudian berusaha untuk
menemukan pemecahan masalah terhadap permasalahan tersebut.
Mengalami: Belajar dalam konteks
eksplorasi, mengalami. Mengalami merupakan inti belajar kontekstual dimana
mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengelaman maupun
pengetahui sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat
memanipulasi peralatan dan bahan-bahan dan untuk melakukan bentuk-bentuk
penelitian aktif.
Menerapkan: Menerapkan
konsep-konsep dan informasi dalam konteks yang bermanfaat bagi diri siswa.
Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan masalah.
Guru dapat memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistik dan
relevan.
Kerjasama: Belajar dalam konteks
berbagi, merespons, dan berkomunikasi dengan siswa lain adalah strategi
pengajaran utama dalam pengajaran kontekstual. Siswa yang bekerja secara
individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang
bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang komplek dengan
sedikit bantuan. Pengalaman bekerja sama tidak hanya membantu siswa mempelajari
materi, juga konsisten dengan dunia nyata. Seorang karyawan yang dapat
berkomunikasi secara efektif, yang dapat berbagi informasi dengan baik, dan
yang dapat bekerja dengan nyaman dalam sebuah tim tentunya sangat dihargai di
tempat kerja. Oleh karena itu, sanat penting untuk mendorong siswa
mengembangkan keterampilan bekerja sama ini.
Mentrasfer: Belajar dalam konteks
pengetahuan yang ada, atau mentransfer, menggunakan dan membangun atas apa yang
telah dipelajari siswa. Peran guru membuat bermacam-macam pengelaman belajar
dengan focus pada pemahaman bukan hapalan.
KARAKTERISTIK
PENDEKATAN KONTEKSTUAL (CTL)
Menurut Johnson (dalam Nurhadi, 2002:14) terdapat delapan utama yang
menjadi karakteristik pembelajaran kontekstual, yaitu (1) melakukan hubungan
yang bermakna, (2) mengerjakan pekerjaan yang berarti, (3) mengatur cara
belajar sendiri, (4) bekerja sama, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6)
mengasuh atau memelihara pribadi siswa, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8)
menggunakan penilaian sebenarnya.
Nurhadi (2003:20) menyebutkan dalam kontekstual mempunyai sebelas
karakteristik antara lain yaitu (1) kerja sama, (2) saling menunjang, (3)
menyenangkan, (4) belajar dengan bergairah, (5) pembelajaran terintegrasi, (6)
menggunakan berbagai sumber, (7) siswa aktif, (8) sharing dengan teman, (9)
siswa aktif, guru kreatif, (10) dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan
hasil karya siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor, dan lain-lain, serta (11)
laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan
hasil praktikum, karangan siswa, dan lain-lain.
Priyatni (2002:2) menyatakan bahwa pembelajaran yang dilaksanakan dengan
CTL memiliki karakteristik: (1) pembelajaran dilaksanakan dalam konteks yang
autentik, artinya pembelajaran diarahkan agar siswa memiliki keterampilan dalam
memecahkan masalah dalam
konteks nyata atau pembelajaran diupayakan dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah (learning in real life setting), (2) pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang bermakna (meaningful learning), (3) pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa melalui proses mengalami (learning by doing), (4) pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling mengoreksi (learning in a group), (5) kebersamaan, kerja sama saling memahami dengan yang lain secara mendalam merupakan aspek penting untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan (learning to knot each other deeply), (6) pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, kreatif, dan mementingkan kerja sama (learning to ask, to inquiry, to York together).
(7) pembelajaran dilaksanakan dengan cara yang menyenangkan (learning as an enjoy activity).
konteks nyata atau pembelajaran diupayakan dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah (learning in real life setting), (2) pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang bermakna (meaningful learning), (3) pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa melalui proses mengalami (learning by doing), (4) pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling mengoreksi (learning in a group), (5) kebersamaan, kerja sama saling memahami dengan yang lain secara mendalam merupakan aspek penting untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan (learning to knot each other deeply), (6) pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, kreatif, dan mementingkan kerja sama (learning to ask, to inquiry, to York together).
(7) pembelajaran dilaksanakan dengan cara yang menyenangkan (learning as an enjoy activity).
KOMPONEN PENDEKATAN KONTEKSTUAL (CLTL)
Pembelajaran kontekstual (CTL) memiliki tujuh komponen utama:
(1) Konstruktivisme (construktivism)
Konstruktivisme merupakan landasan filosofi pendekatan CTL yang menyatakan
bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia
sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas.
Strategi pemerolehan pengetahuan lebih diutamakan daripada seberapa banyak
siswa mengingat pengetahuan. Konsep konstruktivisme menuntut siswa untuk dapat
membangun arti dari pengalaman baru pada pengetahuan tertentu. Priyatni
(2002:2) menyebutkan bahwa pembelajaran yang berciri konstruktivisme menekankan
terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif, dan produktif dari
pengalaman atau pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna.
Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna
bagi dirinya, dan bergelut dengan ide ide. Siswa harus mengonstruksikan pengetahuan
di benak mereka sendiri.
(2) Inkuiri (inquiry)
Menemukan merupakan strategi belajar dari kegiatan pembelajaran
kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan
hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri.
Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan,
apapun materinya. Inkuiri adalah siklus proses dalam membangun pengetahuan yang
bermula dari melakukan observasi, bertanya, investigasi, analisis, kemudian
membangun teori atau konsep. Inkuiri diawali dengan pengamatan untuk memahami
konsep atau fenomena dan dilanjutkan dengan melaksanakan kegiatan bermakna
untuk menghasilkan temuan. Priyatni (2002:2) menjelaskan bahwa inkiri dimulai
dari kegiatan mengamati, bertanya, mengajukan dugaan sementara (hipotesis), mengumpulkan
data, dan merumuskan teori sebagai kegiatan terakhir.
(3) Bertanya (questioning)
Bertanya merupakan keahlian dasar yang dikembangkan dalam pembelajaran CTL.
Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong,
membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya
merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inkuiri,
yaitu menggali informasi, mengonfirmasikan apa yang sudah diketahuinya, dan
mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui. Konsep ini berhubungan
dengan kegiatan tanya jawab yang dilakukan baik oleh guru maupun oleh siswa.
Pertanyaan sebagai wujud pengetahuan yang dimiliki. Tanya jawab dapat
diterapkan antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan guru,
atau siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas.
(4) Masyarakat belajar (learning commnunity)
Masyarakat belajar merupakan penciptaan lingkungan belajar dalam
pembelajaran kontekstual (CTL). Masyarakat belajar adalah kelompok belajar yang
berfungsi sebagai wadah komunikasi untuk berbagi pengalaman dan gagasan.
Aplikasinya dapat berwujud dalam pembentukan kelompok kecil atau kelompok besar
serta mendatangkan ahli ke kelas, atau belajar dengan teman-teman lainnya.
Belajar bersama dengan orang lain lebih baik dibandingkan dengan belajar
sendiri. Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran
diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari
berbagi pengalaman antarteman, antarkelompok, dan antara yang tahu ke yang
tidak tahu. Pembelajaran kontekstual dilaksanakan dalam kelompok-kelompok
belajar yang anggotanya heterogen sehingga sehingga akan terjadi kerja sama
antara siswa yang pandai dengan siswa yang lambat. Kegiatan masyarakat belajar
difokuskan pada aktivitas berbicara dan berbagai pengalaman dengan orang lain.
Priyatni (2002:3) menyebutkan bahwa aspek kerja sama dengan orang lain untuk
menciptakan pembelajaran yang lebih baik adalah tujuan pembelajaran yang
menerapkan learning community.
(5) Pemodelan (modelling)
Model merupakan acuan pencapaian kompetensi dalam pembelajaran kontekstual.
Konsep ini berhubungan dengan kegiatan mendemonstrasikan suatu materi pelajaran
agar siswa dapat mencontoh atau agar dapat ditiru, belajar atau melakukan
dengan model yang diberikan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan
satu-satunya model, siswa juga dapat berperan aktif dalam mencoba menghasilkan
model. Priyatni (2002:3) menyatakan bahwa kegiatan pemberian model bertujuan
untuk membahasakan gagasan yang kita pikirkan, mendemonstrasikan bagaimana kita
menginginkan para siswa untuk belajar, atau melakukan apa yang kita inginkan
agar siswa melakukannya.
(6) Refleksi (reflction)
Refleksi merupakan langkah akhir dari belajar dalam pembelajaran
kontruktivisme. Konsep ini merupakan proses berpikir tentang apa yang telah dipelajari.
Proses telaah terhadap kejadian, aktivitas, dan pengalaman yang dihubungkan
dengan apa yang telah dipelajari siswa, dan memotivasi munculnya ide-ide baru.
Refleksi berarti melihat kembali suatu kejadian, kegiatan dan pengalaman dengan
tujuan untuk mengidentifikasi hal yang telah diketahui, dan hal yang belum
diketahui. Realisasinya adalah pertanyaan langsung tentang apa-apa yang
diperolehnya hari itu, catatan di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran pada hari itu. Priyatni (2002:3) menjelaskan bahwa kegiatan refleksi adalah kegiatan memikirkan apa yang telah kita pelajari, menelaah, dan merespons semua kejadian, aktivitas, atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran, dan memberikan masukan-masukan perbaikan jika diperlukan.
diperolehnya hari itu, catatan di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran pada hari itu. Priyatni (2002:3) menjelaskan bahwa kegiatan refleksi adalah kegiatan memikirkan apa yang telah kita pelajari, menelaah, dan merespons semua kejadian, aktivitas, atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran, dan memberikan masukan-masukan perbaikan jika diperlukan.
(7) Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment)
Penilaian yang sebenarnya merupakan proses pengumpulan berbagai data dan
informasi yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Dalam
pembelajaran kontekstual, penilaian ditekankan pada proses pembelajarannya,
maka data dan informasi yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata
yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajarannya. Penilaian
yang sebenarnya merupakan tindakan menilai kompetensi siswa secara nyata dengan
menggunakan berbagai alat dan berbagai teknik tes, portofolio, lembar
observasi, unjuk kerja, dan sebagainya. Prosedur penilaian yang menunjukkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap siswa secara nyata. Penilaian yang
sebenarnya ditekankan pada pembelajaran yang seharusnya membantu siswa agara
mamapu mempelajari sesuatu, bukan hanya memperoleh informasi pada akhir
periode. Kemajuan belajar siswa dinilai bukan hanya yang berkaitan dengan nilai
tetapi lebih pada proses belajarnya.
KELEBIHAN
DAN KEKURANGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL (CTL)
Kelebihan:
1.
Pembelajaran
menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap
hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini
sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan
kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara
fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam
memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan.
2. Pembelajaran lebih
produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode
pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun
untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis
konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.
Kekurangan:
1.
Guru
lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam metode CTL. Guru tidak lagi
berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai
sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan
yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang.
Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan
keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah
sebagai instruktur atau ” penguasa ” yang memaksa kehendak melainkan guru
adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap
perkembangannya.
2.
Guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri
ide–ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan
strategi–strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini
tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa
agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula.
0 komentar:
Post a Comment